Meulaboh, 11 Juni 2025 – Wahana Generasi Aceh (WANGSA) menyampaikan apresiasi atas langkah tegas Bupati Aceh Barat, Tarmizi, S.P., M.M., yang baru saja mengeluarkan ultimatum resmi kepada seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) untuk menunjukkan aktivitas nyata dalam jangka waktu satu tahun, dengan tenggat hingga Juni 2026. Bagi WANGSA, kebijakan ini mencerminkan komitmen serius pemerintah daerah terhadap transparansi, keadilan, dan keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Namun lebih dari itu, WANGSA menyoroti pernyataan Bupati yang kembali menggaungkan kalimat ikonik yang telah menjadi identitas sikapnya sejak masih duduk sebagai anggota DPR Aceh:
“Bek sampe lagee ureung sangkot handok bak pinto kama manoë, jih hana dimano, gob pih hanjeut dimano.”
Kalimat tersebut pertama kali dilontarkan Tarmizi pada 12 Mei 2022 sebagai respons terhadap pencabutan ribuan izin tambang oleh BKPM, termasuk IUP PT MGK. Kala itu, Tarmizi secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap pencabutan, dan mengkritik keras perusahaan tambang yang hanya “menumpang izin” tanpa menunjukkan niat eksploitasi yang nyata.
Ungkapan tersebut kemudian kembali digaungkan oleh WANGSA dalam rilis resmi pada 11 Mei 2025 sebagai bentuk pengingat terhadap komitmen moral yang pernah diucapkan. Dalam Forum Kritik 100 Hari Pemerintahan Tarmizi Said, Jhony Howord Ketua WANGSA, kembali mengingatkan secara langsung ucapan itu di hadapan Bupati sebagai penegas bahwa publik tidak lupa pada kata-kata yang pernah menginspirasi keadilan.
Kini, dalam pernyataan resminya pada 10 Juni 2025, Tarmizi kembali melontarkan kalimat itu kedua kalinya, seolah hendak mengunci komitmennya di depan publik. Bagi WANGSA, konsistensi ini patut diapresiasi, jarang ada kepala daerah yang mampu merawat ucapannya dalam lintas waktu dan posisi.
“Ketika seorang pemimpin mengulang kalimat yang sama dalam tiga momentum penting, itu bukan lagi symbol, itu pernyataan sikap. Kami apresiasi integritas ini,” ujar Jhony Howord.
Namun demikian, WANGSA menegaskan bahwa ultimatum ini tidak boleh diberlakukan secara seragam terhadap seluruh perusahaan. PT MGK, menurut Jhony, tidak bisa disamakan dengan perusahaan lain. Perusahaan ini sudah diberi cukup banyak ruang, dari pembinaan pusat, pengembalian izin ke daerah, hingga surat peringatan terakhir oleh DPMPTSP Aceh tertanggal 31 Januari 2023, semuanya terkesan diabaikan.
“PT MGK bukan perusahaan yang layak diberi satu tahun tambahan. Mereka bukan baru datang. Mereka sudah gagal berkali-kali. Maka tidak adil jika mereka disamakan dengan perusahaan lain yang masih ingin berbenah,” tegas Jhony.
Bagi WANGSA, konsistensi bukan hanya soal kata, tapi juga tindakan. Jika PT MGK tetap dibiarkan, maka makna dari kata-kata itu akan luntur di tengah kompromi.
“Kami akan terus mengawal. Kata-kata yang kuat harus diikuti tindakan yang setara. Jangan biarkan yang sudah terbukti merusak diberi panggung ulang,” pungkas Jhony.