Wajah Kapitalisme Rakus yang Menjarah Martabat Aceh Barat

Ilustrasi

Aceh Barat kembali dilukai. Bukan oleh bencana alam, bukan pula oleh konflik horizontal. Luka itu datang dari tangan-tangan dingin korporasi rakus yang mengatasnamakan investasi. PT Mifa Bersaudara, perusahaan tambang batubara yang konon membawa “pembangunan,” kembali menunjukkan tabiat aslinya, predator yang menghisap sumber daya, menindas masyarakat, dan kini diduga berani menekan pemimpin daerah.

 

Jika benar PT Mifa melaporkan Bupati Aceh Barat, maka ini bukan sekadar perseteruan antara dua institusi. Ini adalah bukti terang benderang bagaimana kapitalisme bisa beroperasi tanpa kendali dan moral, menyusup ke jantung kekuasaan lokal, lalu menghancurkan setiap bentuk kedaulatan yang tersisa. Ini adalah bentuk kolonialisme baru yang berbaju korporasi, bersenjata izin, dan bermotif laba tanpa batas.

 

Sejarah mencatat bahwa sebelum bupati, sudah ada jurnalis yang dikriminalisasi, warga yang dituntut hanya karena bersuara soal debu, hingga petugas keamanan yang digertak hukum. Pola ini sistematis dan brutal. Setiap suara yang menyentuh kepentingan tambang dibungkam. Demokrasi lokal dipreteli pelan-pelan dan kita semua menjadi saksi bisu pembantaian ruang hidup atas nama investasi.

 

PT Mifa bukan hanya telah mencoreng wajah Aceh Barat. Ia telah menampar martabat kita sebagai masyarakat yang berdaulat. Ketika perusahaan bisa bebas menggugat siapa saja bahkan kepala daerah, maka pertanyaannya sederhana , siapa sebenarnya yang berkuasa di Aceh Barat? Pemerintah atau korporasi?

 

Kita tidak sedang berbicara soal satu kasus laporan polisi. Kita sedang berbicara tentang struktur ketimpangan yang dibiarkan tumbuh subur, negara yang lemah, rakyat yang tak berdaya, dan korporasi yang jumawa. Ini bukan sekadar konflik horizontal. Ini adalah konflik struktural antara modal yang tak bermoral dengan rakyat yang hak-haknya terus digerus.

 

Sudah cukup kita diam. Aceh Barat butuh investasi, ya, tapi bukan yang membungkam. Bukan yang menindas. Bukan yang memperlakukan tanah ini sebagai ladang rampasan. Yang kita butuhkan adalah pembangunan yang berkeadilan, berbasis pada keberlanjutan lingkungan, penghormatan pada hak-hak warga, dan relasi setara antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha.

 

Jika benar laporan terhadap bupati terjadi, maka pencabutan laporan saja tidak cukup. Masyarakat harus menuntut evaluasi total terhadap seluruh operasi PT Mifa Bersaudara. Karena ini bukan lagi soal pribadi atau jabatan. Ini adalah soal kedaulatan daerah yang diinjak-injak. Soal demokrasi yang dikhianati. Dan soal masa depan Aceh Barat yang tak boleh dibiarkan ditulis oleh tangan-tangan rakus para pemilik modal.

 

Kita punya pilihan: tunduk dalam ketakutan, atau berdiri dalam keberanian. Pilihannya ada di tangan rakyat. Tapi satu hal pasti, sejarah tak akan berpihak pada mereka yang diam saat tanahnya dirampas.