Mengulas Sederet Persoalan PT Mifa Bersaudara, Saatnya Evaluasi?

Ilustrasi Serigala berbulu domba di tambang batubara

Sebagai salah satu perusahaan tambang batubara terbesar di Aceh Barat, PT Mifa Bersaudara membawa janji kemajuan ekonomi lokal. Perusahaan ini merupakan bagian dari jaringan bisnis besar yang dikendalikan oleh Media Djaya Bersama (MDB) Group, yang kerap dikaitkan dengan tokoh nasional Surya Paloh. Namun di balik geliat operasionalnya, PT Mifa tidak lepas dari sorotan publik, mulai dari persoalan lingkungan, konflik lahan, hingga dugaan intervensi politik. Kilas balik ini mencoba mengupas kembali sederet persoalan yang menyertai jejak langkah perusahaan tersebut di Bumi Teuku Umar.

 

Dugaan Praktik SLAPP: Dari Warga hingga Bupati Dipolisikan

 

SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) adalah bentuk gugatan hukum yang bertujuan membungkam kritik publik, sering digunakan oleh pihak kuat untuk menekan publik. Dugaan praktik ini terlihat dalam beberapa persoalan PT Mifa Bersaudara.

 

Pada 2023, PT Mifa melaporkan BIMC Media atas tuduhan menyebarkan hoaks. Padahal, berita yang dimuat media tersebut juga dimuat oleh beberapa media lain, namun hanya BIMC yang dipolisikan.

 

Kasus serupa terjadi pada Maret 2024, ketika manajemen PT Mifa mengancam melaporkan Risky MP, mantan satpam, yang bicara lantang soal persoalan internal perusahaan. Kritik ditanggapi sebagai ancaman, bukan sebagai alarm untuk berbenah.

 

Yang paling menyentuh akar demokrasi adalah pelaporan terhadap warga Ring 1, Baharuddin, yang memprotes debu batubara yang mencemari pemukiman. Aksi damai itu dibalas laporan polisi. Dalam negara hukum, bentuk perlawanan sipil semacam ini seharusnya dihormati, bukan dikriminalisasi.

 

Puncaknya, dugaan pelaporan terhadap Bupati Aceh Barat ke Mabes Polri dengan alasan memasuki area tambang tanpa pemberitahuan. Padahal, langkah itu dilakukan dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, demi memperjuangkan PAD daerah.

 

Empat peristiwa ini memberi gambaran terang, PT Mifa Bersaudara tak sedang menghadapi kritik, melainkan menganggap kritik sebagai musuh. Sebuah pendekatan yang jika dibiarkan bisa mengikis sendi-sendi partisipasi publik di wilayah tambang.

 

Batu Bara Menghantam Garis Pantai

 

Masalah PT Mifa Bersaudara bukan sekadar pelaporan warga. Ada catatan panjang soal dampak lingkungan.

 

Menurut laporan Pansus Pertambangan DPRA yang dibacakan Abdurrahman Ahmad dalam rapat paripurna, 27 September 2024, sekitar 500 kepala keluarga di Gampong Peunaga Cut terdampak bencana ekologis selama lebih dari 10 tahun sejak PT Mifa beroperasi.

 

Di sisi lain, pantai Meureubo terus tercemar. Butiran batu bara kerap ditemukan di bibir pantai, nyaris setiap musim. Dugaan publik mengarah ke aktivitas bongkar muat batu bara milik PT Mifa, namun hingga kini tak ada audit lingkungan yang terbuka ke publik.

 

DPRA merekomendasikan audit lingkungan menyeluruh terhadap PT Mifa untuk menilai kerusakan ekologis dan dampak sosial. Tanpa evaluasi independen, pencemaran akan terus dianggap wajar, sementara warga tetap menanggung risikonya.

 

Perpanjang Izin, Abaikan Evaluasi

 

Masuk ke ranah lebih dalam, persoalan PT Mifa tak hanya soal pencemaran dan konflik warga. Kini mengarah pada keputusan politik, perpanjangan izin operasi tanpa audit lingkungan yang memadai.

 

Tanpa evaluasi independen, keputusan memperpanjang izin operasional berisiko melanggar prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan. Tapi justru itulah yang terjadi. Sebelum mengakhiri masa jabatannya, Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah lebih dulu meneken perpanjangan izin PT Mifa Bersaudara.

 

Izin Operasi Produksi dengan nomor 540/DPMPTSP/890/IUP-OP1./2024 dikeluarkan pada 5 Agustus 2024, memperpanjang masa operasi hingga 25 Agustus 2035. Padahal izin sebelumnya masih berlaku sampai Agustus 2025. Artinya, perpanjangan dilakukan setahun lebih awal, dan tepat menjelang berakhirnya masa jabatan gubernur. Pertanyaannya sederhana, Mengapa terburu-buru?

 

Tambang Ilegal di Nagan Raya

 

Kontroversi PT Mifa Bersaudara meluas ke Nagan Raya. Perusahaan ini diduga menambang secara ilegal di Gampong Paya Udeung. Dugaan ini cukup serius hingga DPRK Nagan Raya merekomendasikan penyegelan lokasi.

 

Tak hanya itu, PT Mifa juga diduga membeli lahan secara masif di beberapa gampong seperti Alue Buloh, Paya Udeung, Kuta Aceh, dan Krueng Ceuko. Di tengah lemahnya pengawasan, eksploitasi ini berjalan nyaris tanpa hambatan. Jika dibiarkan, bukan cuma lingkungan yang rusak, tapi juga hukum yang dipreteli demi kepentingan korporasi.

 

Saatnya Evaluasi Total

 

Jika pola ini terus dibiarkan, kerusakan tak hanya menjalar ke lingkungan, tapi juga ke nalar bernegara. Ini bukan lagi soal satu perusahaan yang melanggar, melainkan soal sistem yang membiarkan penjarahan atas nama investasi. Yang terjadi di PT Mifa tak ubahnya bentuk penjajahan baru.

 

Sudah saatnya PT Mifa Bersaudara dievaluasi total. Jika kehadirannya hanya untuk mengambil untung lalu meninggalkan rakyat dengan kerusakan, lebih baik izinnya dicabut. Aceh punya hak dan kapasitas untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri, tanpa bergantung pada perusahaan yang tak menunjukkan tanggung jawab sosial maupun ekologis.

 

Kita tak ingin mengulang sejarah kelam seperti yang terjadi di PT Arun. Jangan biarkan Aceh Barat jadi babak baru dari luka yang sama. Waktunya berpihak pada rakyat. Waktunya mengakhiri dominasi tambang tanpa kontrol.