Kisruh Tata Kelola Jetty Meulaboh: Monopoli, Registrasi Tertutup, dan Dugaan Solar Ilegal

Ilustrasi

Tertahannya lima unit truk tangki pengangkut BBM milik PT Citra Bintang Familindo (CBF) sejak 15 Agustus 2025 di Pelabuhan Jetty Meulaboh kembali menyorot tata kelola kepelabuhanan di Aceh Barat. Truk tersebut tidak dapat melakukan pembongkaran ke bunker karena izin registrasi perusahaan dinyatakan tidak aktif oleh pengelola pelabuhan, PT Mitra Pelabuhan Mandiri (MPM). Padahal, BBM yang dibawa sedianya akan disuplai ke kapal tugboat yang telah lama bersandar, hingga salah satunya dilaporkan kehabisan bahan bakar. PT CBF sendiri mengklaim telah mengajukan perpanjangan registrasi pada 12 Agustus, namun MPM menegaskan izin lama sudah berakhir sejak 1 Mei 2025 dan tahap registrasi baru belum dibuka.

Secara hukum, polemik ini menyingkap lapisan kewenangan yang berbeda. Penunjukan PT MPM sebagai pengelola Jetty Meulaboh memang sah secara administratif daerah melalui SK Bupati Aceh Barat Nomor 385 Tahun 2023 walaupun ada potensi dinamika lain. Akan tetapi, posisi MPM lebih sebagai mitra kerja sama pemanfaatan (KSP) aset daerah, bukan sebagai pemegang otoritas kepelabuhanan. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta PP Nomor 61 Tahun 2009 jo. PP Nomor 64 Tahun 2015, pengelolaan layanan pelabuhan umum berada di bawah Otoritas Pelabuhan atau KSOP, termasuk dalam aspek bunker minyak, keselamatan pelayaran, dan izin sandar. Artinya, mandat MPM mengelola aset jetty tidak otomatis memberi kewenangan mutlak dalam menentukan aktivitas kepelabuhanan tanpa koordinasi dengan KSOP. MPM Cuma pengelola Pelabuhan bukan otoritas pelabuhan.

Dari sisi kepentingan para pihak, PT CBF berada dalam posisi mendesak. Mereka punya kepentingan operasional untuk segera memasok BBM ke kapal, sekaligus berargumen sudah mengajukan perpanjangan izin untuk internal MPM. Namun kelemahan CBF, yakni keterlambatan administrasi yang membuat posisinya ditahan oleh MPM. Sebaliknya, MPM memiliki dasar untuk menolak aktivitas tanpa registrasi aktif, tetapi lemah dalam hal transparansi. Lemahnya Transparansi ini membuka celah balik bagi PT CBF untuk menuntut dispensasi khusus. Tetapi, apa harus menuntut dispensasi khusus? Tentu tidak karena secara regulasi mereka terdaftar di Syahbandar dan KSOP sehingga MPM tidak punya hak untuk menahan, dan jika MPM memaksa menahan maka syahbandar seharusnya memberikan peringatan keras akibat pengelola Pelabuhan melampaui kewenangannya.

Sistem Registrasi tidak terbuka

Jika benar registrasi hanya dibuka setiap enam bulan, MPM seharusnya wajib menyampaikan jadwal, syarat, dan kanal pengajuan dipublikasikan terbuka agar tidak menimbulkan kesan diskriminatif. Dishub Aceh Barat menekankan bahwa izin MPM harus berjalan seiring dengan persetujuan Syahbandar, memang benar, karena MPM Cuma membantu dan kewenangan di syahbandar. Oleh karena itu, KSOP Meulaboh memiliki peran sentral sebagai otoritas keselamatan pelayaran yang bisa memberi solusi darurat agar kapal tidak berhenti beroperasi total.

Titik rawan dalam polemik ini adalah tercampurnya kewenangan pengelola aset daerah dengan otoritas pelabuhan nasional. KSP dengan pemerintah daerah hanya mengatur aspek pemanfaatan aset, bukan perizinan teknis dan keselamatan pelayaran. Hal ini menimbulkan miskonsepsi, seolah-olah pengelola KSP bisa bertindak seperti Otoritas Pelabuhan.

Dalam konteks solusi, langkah yang paling realistis adalah KSOP memimpin rapat koordinasi cepat antara Dishub, MPM, CBF, dan operator kapal, tegasnya kewenangan setiap stakholder. Jika memang system internal MPM tetap dilanjutkan dengan berbagai kepentingan, maka Dispensasi sekali jalan untuk bunkering darurat bisa diberikan, agar kebutuhan kapal tidak terganggu tanpa menyalahi aturan. Untuk jangka menengah, MPM harus memublikasikan SOP registrasi yang jelas, terbuka, dan berbasis kanal resmi, sementara CBF wajib menyiapkan ulang permohonan sesuai prosedur KSOP. Lebih jauh, forum layanan pengguna (user council) perlu dibentuk agar kebijakan terkait jadwal registrasi, tarif, dan standar keselamatan tidak lagi berjalan secara tertutup.

Dampak Tata Kelola Jetty Meulaboh terhadap Reputasi Daerah

Kasus ini memperlihatkan bukan hanya masalah administratif registrasi, melainkan juga implikasi serius bagi citra Kabupaten Aceh Barat. Walaupun secara faktual keputusan menahan aktivitas berasal dari PT MPM sebagai pengelola jetty, di mata publik tanggung jawab politik dan reputasi justru melekat pada pemerintah daerah sebagai pemberi mandat KSP melalui SK Bupati.

Dampaknya, publik dan pelaku usaha bisa menilai bahwa Pelabuhan Aceh Barat diskriminatif, tertutup, bahkan memonopoli akses layanan sesuai kepentingan pengelola. Ini berbahaya karena pelabuhan bukan sekadar fasilitas lokal, melainkan simpul ekonomi regional. Ketika ada kesan aturan dibuat “fleksibel” atau “sementara” hanya di tangan satu pengelola, kepercayaan investor dan operator kapal akan tergerus. Kerugian yang timbul bukan hanya berupa gangguan suplai BBM, tetapi juga biaya transaksi ekonomi tinggi, risiko kapal kehilangan jadwal operasi, hingga menurunnya daya tarik pelabuhan Aceh Barat sebagai hub logistik.

Secara kerangka hukum, posisi MPM memang sah sebagai mitra KSP aset daerah. Namun, jika tata kelola internal MPM tidak transparan, maka keputusan MPM otomatis “menyeret” nama Pemkab.

Lebih jauh, pola ini berisiko memunculkan monopoli layanan pelabuhan. Bila hanya satu entitas swasta yang mengendalikan akses registrasi, menentukan waktu pendaftaran, dan memutuskan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk, maka terbuka peluang penyalahgunaan kewenangan. Monopoli ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga merusak iklim usaha daerah yang seharusnya terbuka, adil, dan kompetitif.

Kerugian yang dialami daerah bersifat ganda. kerugian reputasi: pelabuhan dipersepsi diskriminatif dan tidak ramah usaha, sehingga memengaruhi kepercayaan investor, dan kerugian politik: Pemkab menjadi pihak yang disalahkan, meskipun secara teknis keputusan ada pada MPM.

Lebih lanjut, Penunjukan Swasta dalam Pengelolaan Pelabuhan

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan membuka ruang bagi pihak swasta untuk menjadi Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Namun, keikutsertaan swasta pada prinsipnya harus melalui mekanisme izin, konsesi, atau kerja sama yang diatur secara transparan. Dengan demikian, peluang memang tersedia, tetapi bukan dalam bentuk penunjukan langsung tanpa mekanisme seleksi.

Jika pengelolaan pelabuhan diberikan langsung kepada pihak swasta tertentu, muncul sejumlah persoalan krusial. Dari aspek hukum dan tata kelola, penunjukan langsung berpotensi bertentangan dengan prinsip persaingan sehat, non-diskriminasi, serta asas transparansi yang menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik. Kondisi ini dapat memicu sengketa hukum sekaligus melemahkan legitimasi pengelolaan pelabuhan. Dari sisi politik-ekonomi, penunjukan langsung membuka ruang bagi praktik kolusi dan penyalahgunaan wewenang. Hak pengelolaan bisa saja lebih ditentukan oleh kedekatan politik dengan penguasa ketimbang oleh kompetensi dan rekam jejak. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya merugikan masyarakat pengguna, tetapi juga berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Pelabuhan Jetty Meulaboh merupakan aset daerah, sehingga kerja sama pemanfaatannya seharusnya dilakukan melalui proses lelang (tender) atau minimal seleksi terbatas yang transparan.

Jika kerja sama menyangkut pemanfaatan aset daerah atau perjanjian jangka panjang, maka persetujuan DPRK Aceh Barat menjadi keharusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah serta Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Apabila bupati mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan DPRK, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dan berpotensi menimbulkan temuan BPK maupun kasus hukum tindak pidana korupsi.

Dalam konteks ini, keterlibatan pihak swasta seperti PT MPM harus segera dievaluasi secara menyeluruh oleh Pemerintah Daerah Aceh Barat. Evaluasi ini penting agar proses kerja sama berjalan sesuai hukum, memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta benar-benar berpihak pada kepentingan publik.

Dugaan Distribusi BBM Ilegal di Pelabuhan Jetty Meulaboh

Dugaan penyalahgunaan distribusi bahan bakar minyak (BBM) solar di Pelabuhan Jetty Meulaboh, memperlihatkan adanya pola distribusi yang terstruktur dan terorganisir. Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa pasokan solar ilegal masuk melalui jalur darat dari Medan menggunakan truk tangki, lalu disalurkan untuk kepentingan kapal tunda tongkang batu bara milik PT Mifa Bersaudara. Fakta ini pertama kali diungkap oleh Kepala Operasional Wilayah Barat Selatan Aceh PT Citra Bintang Familindo (CBF), Syukur, yang menemukan tiga unit truk tangki memasok BBM non-resmi pada Minggu (17/8/2025) malam.

Dugaan masuknya solar ilegal ke Pelabuhan Jetty Meulaboh justru menimbulkan paradoks besar. Paradoks ini membuka kemungkinan bahwa registrasi dijalankan secara selektif. Di satu sisi, pihak tertentu bisa dipersulit melalui prosedur registrasi ketat. Disisi lain, truk tangki pengangkut solar ilegal justru bisa melintas. Kontradiksi ini memperlemah kredibilitas PT MPM, karena menimbulkan kesan bahwa aturan yang diterapkan bukan untuk memastikan ketertiban, melainkan sekadar instrumen kontrol yang tidak konsisten.

Polda Aceh Harus Segera Menyelidiki

Dalam konteks hukum, dugaan awal yang muncul dari pemberitaan media sudah cukup menjadi dasar aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan awal. Skema distribusi lintas provinsi yang melibatkan gudang penampungan ilegal di Medan hingga masuk ke pelabuhan di Aceh Barat bukanlah praktik kecil, melainkan bagian dari jaringan terorganisir yang merugikan negara.

Polda Aceh memiliki tanggung jawab untuk segera turun tangan, mengingat dugaan ini juga fokus nasional. Keterlambatan aparat dalam mengusut jaringan ini hanya akan memperkuat dugaan adanya pembiaran. Publik menunggu kepastian hukum agar tidak ada kesan bahwa praktik distribusi BBM ilegal dilindungi oleh pihak-pihak tertentu.