Boneka di Pilkada Aceh Barat

Ilustrasi Boneka di Pilkada Aceh Barat

Pilkada Aceh Barat 2024 membawa pertarungan sengit antara dua pasangan calon, yang keduanya memiliki tokoh besar di balik mereka. Tarmizi-Said Fadheil yang didukung oleh Mantan Bupati Aceh Barat, H. Teuku Alaidinsyah (H. Tito) dan pasangan Haji Kamaruddin-Adi Ariyadi yang mendapat dukungan dari Mantan Bupati Aceh Barat Ramli MS, menggambarkan sebuah pertarungan sengit antara dua kubu yang tak hanya saling bersaing, tetapi juga menggambarkan warisan politik yang panjang di Aceh Barat.

 

Namun, di balik persaingan ini, ada pertanyaan besar yang layak diajukan: Apakah kedua pasangan calon tersebut benar-benar berkompetisi atas dasar kepemimpinan mereka sendiri, ataukah mereka sekadar menjadi boneka dari para tokoh besar yang mendukung mereka?

 

Boneka Politik dalam Pilkada

 

Istilah “boneka” dalam konteks politik merujuk pada individu yang berada di bawah kendali atau pengaruh kuat dari tokoh-tokoh tertentu, yang sering kali memanfaatkan figur tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

 

H. Teuku Alaidinsyah (H. Tito) dan Ramli MS adalah dua figur yang sangat berpengaruh di Aceh Barat. Mereka telah menduduki posisi strategis dalam politik daerah selama beberapa periode, dan tentu saja, kehadiran mereka dalam Pilkada kali ini turut mempengaruhi arah persaingan. Bagi sebagian pihak, H. Tito dan Ramli MS masih dilihat sebagai tokoh utama yang mampu mengarahkan jalannya kebijakan dan keputusan politik, sementara pasangan calon yang mereka dukung, seperti Tarmizi dan Said Fadheil, serta Haji Kamaruddin dan Adi Ariyadi, lebih dianggap sebagai figur yang dipilih untuk membawa visi politik dan tujuan tertentu dari tokoh ini.

 

Gambaran pertarungan politik ini bagaikan konservatisme politik, yang memungkinkan calon untuk mengamankan “status quo” dan mencegah adanya penyelidikan atau pembongkaran masalah-masalah yang pernah terjadi. Dalam konteks ini, calon-calon tersebut bisa saja berfungsi lebih sebagai “penjaga status quo” daripada sebagai pemimpin yang siap memperjuangkan kepentingan rakyat.

 

Dugaan campur tangan Mega Perusahan Tambang

 

Satu hal yang menarik dari persaingan ini adalah tidak hanya dukungan dari tokoh politik berpengaruh yang mencuri perhatian, tetapi juga dugaan keterlibatan perusahaan besar, PT. Mifa Bersaudara, di balik pasangan calon nomor dua. Perusahaan tambang yang memiliki konsesi di Aceh Barat ini diduga memiliki hubungan dekat dengan salah satu perwakilan dari calon nomor dua, yang juga diketahui sebagai vendor perusahaan tersebut. Dugaan ini mengangkat isu soal “keterikatan” calon tersebut dengan kepentingan bisnis yang lebih besar, yang dapat mempengaruhi kebijakan mereka jika terpilih.

 

Pertanyaan besar yang muncul dari situasi ini adalah apakah para calon tersebut bertindak berdasarkan aspirasi rakyat Aceh Barat atau justru lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok yang mereka wakili? Jika dugaan keterlibatan PT. Mifa Bersaudara benar, maka ini menjadi ironi dalam demokrasi, di mana masyarakat tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga memilih siapa yang akan menjadi boneka dari kepentingan ekonomi dan politik tertentu.

 

Tujuannya jelas: agar kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah sebelumnya, yang menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut, dapat terus berjalan tanpa gangguan dari regulasi baru atau tindakan hukum yang dapat merugikan mereka.

 

Bukan sekadar asumsi liar, tetapi berkaca pada beberapa anggota DPRK Aceh Barat yang baru terpilih langsung terlibat dalam konflik pencemaran batu bara dan terkesan membela pihak perusahaan dibandingkan fokus menyuarakan aspirasi rakyat.

 

Dalam konteks ini, tidak dapat dipungkiri bahwa politik uang dan hubungan bisnis seringkali berperan lebih besar daripada kepentingan publik. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat daerah nantinya berpotensi lebih banyak menguntungkan pihak-pihak yang mendukung mereka daripada rakyat Aceh Barat yang sebenarnya membutuhkan pemimpin yang berkomitmen untuk kesejahteraan bersama.

 

Harapan untuk Bumi Teuku Umar

 

Apakah Pilkada Aceh Barat akan menghasilkan pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, atau justru akan menjadi ajang para “boneka” yang hanya mengikuti perintah dari kekuatan besar di balik mereka? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi untuk itu, rakyat Aceh Barat harus memastikan bahwa suara mereka tidak jatuh ke tangan yang salah.

 

Pilkada bukan sekadar ajang pemilihan pemimpin, tetapi sebuah momentum untuk melakukan pembaruan yang menuntut pembongkaran sistem lama yang penuh dengan ketidakadilan, penindasan, dan ketidakmerataan. Pilkada harus menjadi panggung perjuangan bagi suara rakyat yang tertindas. Kita semua tidak ingin mengulang narasi-narasi lama tentang pembangunan yang tidak pernah dinikmati oleh mayoritas.

 

Terlepas dari siapa yang menang dalam Pilkada Aceh Barat, harapan terbesar kita adalah agar pendidikan di daerah ini menjadi prioritas utama, karena itulah pondasi masa depan Aceh Barat. Jika memang calon yang terpilih adalah figur yang dianggap sebagai “boneka” dari tokoh besar atau kepentingan tertentu, maka seharusnya mereka menjadi “boneka” yang justru berfungsi untuk memperbaiki sistem pendidikan, bukan untuk melanggengkan ketidakadilan atau ketimpangan.

 

Karya : Diki Andari

Disclaimer : Tujuan tulisan ini adalah sebagai bahan kajian tentang situasi politik dan tidak bermaksud untuk menjatuhkan pihak manapun, jika ada pihak yang merasa dirugikan maka bisa menghubungi kami melalui DM Instagram wangsa.