Ahmad Yani dan Azwir: Kambing Hitam atau Visioner dalam Isu Jalan Pendidikan untuk Hauling?

Penolakan Wahana Generasi Aceh (Wangsa) terhadap jalan pendidikan untuk Hauling membuahkan hasil. Tetapi ada hal yang menjadi sorotan Wangsa. Diskursus seputar pembangunan jalan pendidikan yang rencana dialihfungsikan sebagai jalur hauling batubara, Ahmad Yani dan Azwir kerap disorot sebagai pihak yang mendukung penuh rencana ini. Padahal, jika dilihat dari rekam jejak, mereka sering memprotes isu lingkungan, terutama terkait debu batubara dan pencemaran yang berdampak pada masyarakat sekitar. Hal ini mengundang pertanyaan: apakah mereka benar-benar pendukung utama dari polemik ini, atau justru sengaja menjadi kambing hitam dalam sebuah konspirasi yang lebih besar?

 

Analisis Rencana Pemindahan Rute

 

Ketua Tim Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Aceh Barat, Kurdi mengeluarkan rencana pemindahan rute Hauling dalam forum DPRK Aceh Barat. Menurut informasi, Kurdi bersama Ahmad Yani dan Azwir merupakan aktor utama dalam polemik ini. Upaya ini menjadi kabar baik bagi Wangsa yang menolak keras jalan pendidikan untuk Hauling batubara. Namun, muncul asumsi liar, tuduhan ini berkisar pada dugaan bahwa jalan pendidikan hanyalah pintu masuk untuk membuka jalan hauling utama, dengan tujuan menekan biaya pembebasan lahan yang akan melonjak jika polemik tidak terjadi. (Dugaan Wangsa berdasarkan hasil analisis)

 

Strategi yang digunakan

 

Jika dugaan tersebut benar, maka langkah ini mencerminkan strategi jangka panjang yang brilian. Pembangunan infrastruktur sering kali menghadapi dilema harga lahan yang melonjak ketika sebuah proyek diumumkan secara terang-terangan. Dengan menciptakan polemik yang mengalihkan perhatian, harga lahan dapat ditekan, dan pada akhirnya, jalur hauling utama dapat dibangun dengan biaya lebih rendah. Dalam konteks ekonomi pembangunan, langkah seperti ini, meski kontroversial, dapat dianggap sebagai bentuk inovasi dalam manajemen konflik lahan.

 

Jika benar Ahmad Yani, Azwir, dan Kurdi berniat mengutamakan efisiensi pembangunan dengan cara demikian, maka langkah ini patut diapresiasi, terutama jika disandingkan dengan komitmen mereka terhadap rekam jejak advokasi lingkungan.

 

Sudut Pandang analisis wangsa

 

Dalam ilmu tata ruang dan perencanaan wilayah, pendekatan semacam ini dikenal sebagai strategi mitigasi konflik tanah. Proyek infrastruktur sering menghadapi kendala sosial, terutama ketika menyentuh isu yang sensitif seperti pendidikan. Dengan memulai pembangunan pada lokasi yang kurang strategis namun memiliki dampak sosial besar, perhatian publik dapat dialihkan. Secara teori, ini mengurangi resistensi terhadap pembangunan jalur utama, sekaligus menciptakan solusi kompromi dengan biaya lebih rendah.

 

Dari perspektif ekologi politik, strategi ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dan kepentingan ekonomi dapat dinegosiasikan dalam konteks lokal. Jika hasil akhirnya adalah pembangunan jalan hauling dengan dampak lingkungan minimal, ini menjadi contoh nyata penerapan prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan infrastruktur.

 

Disatu sisi, Wangsa juga memandang bahwa rencana pemindahan rute hauling ini bukanlah langkah yang sejak awal direncanakan secara matang, melainkan murni respons atas desakan kuat dari masyarakat dan potensi konflik sosial yang semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut lebih bersifat reaktif daripada proaktif.

 

Persoalan jalan Hauling ini memberikan berbagai sudut pandang, terlepas dari apapun, dalam hal ini Wangsa memilih untuk memahami bahwa langkah strategis sering kali datang dengan konsekuensi kontroversial, tetapi dengan tujuan yang lebih baik.

 

Penolakan Wangsa terhadap jalur hauling didukung AKN Aceh Barat, DPM FE UTU,  dan 206 individu melalui petisi. Namun, Wangsa menegaskan pentingnya kontrol berkelanjutan, karena potensi masalah lain bisa saja muncul. Transparansi dan pengawasan tetap harus diutamakan demi kepentingan bersama.

 

#ArahBaruPergerakan