Meulaboh, 11 Juni 2025 – Wahana Generasi Aceh (WANGSA) secara resmi merilis hasil Forum Group Discussion (FGD) bertema “Bongkar Skandal Tambang Emas PT Magellanic Garuda Kencana: Perampokan Daerah di Siang Bolong”. FGD tersebut menghadirkan para akademisi, pejabat publik, jurnalis, aktivis lingkungan, hingga tokoh masyarakat, dan menghasilkan satu kesimpulan tegas: PT MGK tidak hanya melanggar hukum, tapi juga telah menelantarkan prinsip-prinsip dasar tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan.
PT MGK dinilai telah menjalankan kegiatan pertambangan tanpa izin yang sah, menyetor jaminan reklamasi secara terlambat, serta melibatkan Warga Negara Asing (WNA) sebelum memenuhi persyaratan legal yang paling mendasar. Fakta bahwa perusahaan ini tetap beroperasi meskipun IUP-nya telah dicabut secara nasional, dan belum menandatangani pakta integritas, menandai terjadinya kelumpuhan penegakan hukum di sektor tambang Aceh.
“Ini bukan semata pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk kolonialisme gaya baru atas nama investasi. Perusahaan memanen keuntungan dari tanah rakyat dengan status hukum menggantung dan nyaris tanpa kendali institusional,” ujar Jhony Howord, Ketua WANGSA.
Temuan di lapangan makin memperkuat dugaan bahwa PT MGK beroperasi di luar batas kewajaran hukum dan etika. Dinas Lingkungan Hidup Aceh Barat menemukan aktivitas tambang aktif di wilayah konsesi, tanpa IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan tanpa pemutakhiran dokumen Amdal yang layak. Perusahaan juga berdalih bahwa kerusakan lingkungan dilakukan oleh masyarakat, padahal menurut UU No. 3 Tahun 2020, tanggung jawab reklamasi mutlak berada di tangan pemegang IUP tanpa kecuali, sebut Jhony Howord.
Tak hanya itu, keberadaan 17 tenaga kerja asing asal Vietnam yang ditemukan oleh DLHK Aceh Barat dan dikonfirmasi oleh Kantor Imigrasi Meulaboh.
“Menunjukkan kelonggaran pengawasan yang membahayakan kedaulatan hukum negara. Visa C18 dan C12 di tengah status legal perusahaan yang belum terselesaikan” Ujar Jhony Howord
Di tengah situasi ini, Jhony Howord menyampaikan apresiasi kepada Bupati Aceh Barat, Tarmizi, S.P., M.M., atas langkah progresifnya mengeluarkan ultimatum tegas kepada seluruh perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) agar segera merealisasikan aktivitas kerja dan investasi dalam waktu satu tahun, paling lambat Juni 2026.
Namun demikian, Jhony menegaskan bahwa kebijakan itu tidak bisa diberlakukan sama rata untuk PT MGK.
“PT MGK sudah berkali-kali diberi kesempatan oleh pemerintah pusat, termasuk pembinaan saat izinnya dikembalikan ke Aceh. Bahkan sampai surat peringatan terakhir pada 31 Januari 2023 pun tidak diindahkan. Maka tidak logis jika perusahaan ini disamakan dengan perusahaan yang lain ,” tegasnya.
Berdasarkan hasil FGD, WANGSA merekomendasikan tujuh langkah tegas, menghentikan total aktivitas PT MGK, menyelidiki dugaan tambang ilegal, mencabut permanen IUP melalui Gubernur Aceh, menggugat perusahaan atas kerusakan lingkungan, memaksa pelaksanaan reklamasi, mendeportasi seluruh WNA yang terlibat, serta mengenakan sanksi administratif maksimal atas pelanggaran keimigrasian.
“Jika hukum terus dibiarkan tunduk pada kepentingan modal, maka keadilan ekologis tidak akan pernah menjadi kenyataan. PT MGK adalah cermin dari kegagalan sistemik, dan ini saatnya negara tegas atau kehilangan martabatnya,” pungkas Jhony.