Wangsa : Pernyataan Kepala Kemenag Aceh Barat Bukti Pembiaran Pungli di Madrasah

Meulaboh – Wahana Generasi Aceh (Wangsa) menyesalkan pernyataan Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Aceh Barat yang dilontarkan usai unjuk rasa oleh aliansi Generasi Aceh Menggugat (GAM). Alih-alih memberi kejelasan, Kepala Kemenag justru berkilah bahwa penanganan kasus telah berjalan sejak Desember 2024. Namun hingga Mei 2025, tak satu pun hasil konkret yang terlihat. Pernyataan tersebut justru menegaskan: penanganan kasus ini mandek dan dibiarkan berjalan tanpa arah.

 

Yang lebih mencemaskan, Kepala Kemenag menyederhanakan substansi persoalan menjadi “konflik internal antara guru dan kepala madrasah”. Dalih ini bukan saja menyesatkan, tapi juga membelokkan fokus publik dari perkara utamanya: praktik pungutan liar alias pungli.

 

Wangsa menegaskan, praktik pungli bukan sekadar gesekan internal, melainkan perbuatan melawan hukum yang terang-terangan. Dalam perspektif hukum, pungli tergolong sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor. Menafsirkan pungli sebagai urusan internal adalah bentuk pengaburan hukum dan pembiaran sistematis terhadap dugaan korupsi di lembaga pendidikan di bawah naungan negara.

 

Pernyataan Kepala Kemenag Aceh Barat tidak hanya menunjukkan sikap tidak serius menangani dugaan korupsi, tetapi juga memberi kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan melalui narasi “damai-damai internal”. Ini adalah bentuk pelanggaran etik sekaligus cermin dari lemahnya keberpihakan institusi terhadap dunia pendidikan yang bersih dan berintegritas.

 

Alih-Alih Menyelesainkan Permasalahan, Kemenag Buang Badan

 

Pernyataan kepala kemenag Aceh Barat menyulut kegelisahan publik. Dalam upaya membela diri, Kepala Madrasah berdalih dana yang dipersoalkan merupakan honor untuk guru pengganti. Namun, hasil investigasi Wahana Generasi Aceh (Wangsa) menemukan hal yang berbeda. Masalah utamanya bukan soal honorarium, melainkan praktik pemotongan uang makan harian oleh oknum guru yang terjadi secara tidak sah dan sistematis.

 

Bukti transfer yang dikantongi Wangsa mengungkap dua transaksi berbeda: bagian atas adalah pengiriman dana untuk guru pengganti, sedangkan bagian bawah memperlihatkan pemotongan uang makan tanpa dasar yang sah. Inilah praktik pungli yang menjadi sorotan utama. Bukan salah paham administratif, melainkan tindak pidana yang terstruktur.

 

Alih-alih menyelesaikan persoalan secara tuntas, Kepala Kemenag Aceh Barat terus melempar dalih. Ini menjadi indikasi kuat pembiaran, sekaligus pelanggaran etik dan moral jabatan.

 

Merujuk pada:

  • PP No. 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik PNS,
  • PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, dan
  • PMA No. 26 Tahun 2019 tentang Kode Etik Pegawai Kemenag,

 

Wangsa menilai Kepala Kemenag Aceh Barat telah melanggar prinsip-prinsip dasar integritas ASN. Ketidakmampuan menyelesaikan konflik di MIN 3 Aceh Barat adalah bentuk pengabaian terhadap tugas institusional yang seharusnya dijalankan.

 

Tak berhenti di sana, Wangsa juga menyingkap dugaan kutipan dana rutin disekolah yang sama setiap enam bulan, yang disebut-sebut mengalir ke pengawas dan bahkan ke Kantor Kemenag sendiri. Bukti berupa rekaman rapat internal guru menyebut secara eksplisit alokasi dana tersebut. Bila ini terbukti, maka dugaan keterlibatan struktural menjadi tak terbantahkan, rincian sebagai berikut:

 

  • PNS bersertifikat: Rp100.000 x 13 = Rp1.300.000
  • PNS non-sertifikat: Rp70.000 x 7 = Rp490.000
  • Honorer bersertifikat: Rp50.000 x 2 = Rp100.000
  • Honorer non-sertifikat: Rp25.000 x 11 = Rp275.000

 

Total: Rp2.165.000/semester — diduga disalurkan kepada pengawas dan Kepala Kemenag Aceh Barat.

 

Pernyataan Kepala Kemenag seperti “saya tidak pernah menyogok untuk jabatan” justru memperlihatkan kekeliruan mendasar dalam memahami pokok tuntutan. Tak satu pun dari desakan publik menyinggung jual beli jabatan. Pernyataan tersebut adalah pengalihan isu, dan menandakan ketidakmampuan memahami krisis yang sedang terjadi.

 

Tak hanya itu, Wangsa juga mencermati gerak sejumlah buzzer di media sosial yang melakukan framing jahat terhadap aksi damai yang dilakukan GAM. Upaya pembentukan opini ini tak lebih dari siasat murahan untuk menyesatkan publik dan menyelamatkan muka pejabat yang tengah kehilangan legitimasi.

 

Wangsa menegaskan tuntutan: Kepala Kemenag Aceh Barat harus dicopot. Ia telah gagal menjalankan kewajibannya sebagai ASN dan sebagai kepala institusi publik yang seharusnya menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan akuntabilitas.

 

Wangsa sendiri telah mendapatkan respons dari Kementerian Agama RI, yang meminta sejumlah bukti atas dugaan pelanggaran. Bukti-bukti tersebut telah resmi dikirimkan ke Kementerian pada 15 Mei 2025. Namun, Wangsa menekankan bahwa permintaan bukti saja tidak cukup. Kementerian Agama RI harus menunjukkan keberpihakannya pada keadilan dan transparansi dengan menurunkan tim investigasi langsung ke Aceh Barat untuk memverifikasi, menyelidiki, dan menindaklanjuti laporan ini secara serius.