PT Magellanic Garuda Kencana Pernah Disanksi karena Tak Serahkan Rencana Reklamasi
Perusahaan tambang mineral logam, PT Magellanic Garuda Kencana (MGK), yang beroperasi di Desa Sakuy, Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, tercatat pernah menerima sanksi administratif dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) menjatuhkan “Peringatan Kedua” kepada perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) itu karena belum pernah menyampaikan dokumen Rencana Reklamasi. Sanksi tersebut tertuang dalam surat Direktorat Jenderal Minerba bernomor B-70/MB.07/DJB.T/2022, tertanggal 6 Januari 2022.
Tak lama setelah surat peringatan itu diterbitkan, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut ribuan izin usaha tambang di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh. PT MGK termasuk salah satu dari perusahaan yang dicabut izinnya karena dianggap tidak menjalankan kewajiban sesuai aturan.
Tarmizi SP Respon Pencabutan Izin Tambang Mangkrak oleh Pemerintah Pusat
Politisi Partai Aceh, Tarmizi SP saat masih menjabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Aceh, menyampaikan apresiasi kepada pemerintah pusat atas langkah tegas mencabut sejumlah izin usaha pertambangan yang dinilai mangkrak di Aceh. Ia menyebut, selama ini beberapa perusahaan tambang hanya memegang izin tanpa menunjukkan aktivitas eksploitasi yang nyata di lapangan, dikutip dari BIMCMedia (12/05/2022).
Tarmizi merujuk pada dua perusahaan yang izinnya telah dicabut pada saat itu, PT Nirmala Coal Nusantara, yang bergerak di sektor batu bara dan beroperasi di Aceh Barat, serta PT Magellanic Garuda Kencana, yang memiliki konsesi tambang emas di kabupaten yang sama.
“Bek sampe lage ureung sangkot handok bak pinto kama manoe, jih hana dimano, gob pih hanjeut dimano,” ujar Tarmizi, mengutip peribahasa Aceh. Artinya, jangan seperti orang menggantung handuk di kamar mandi—dia tidak mandi, orang lain pun tak bisa.
Sindiran itu mengarah pada perusahaan yang hanya menggenggam izin tanpa memanfaatkan potensi sumber daya alam secara produktif, sehingga turut menghambat pihak lain yang berpotensi lebih serius dalam mengelola sektor pertambangan.
Namun, pencabutan tersebut menuai keberatan dari Pemerintah Aceh. Karena kewenangan pengelolaan sumber daya mineral dan batubara di provinsi ini berbeda dengan daerah lain. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kewenangan atas sektor minerba sepenuhnya berada di tangan pemerintah Aceh.
Menyikapi hal itu, BKPM akhirnya mengembalikan izin usaha PT MGK dan menyerahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Aceh. Dengan pengembalian ini, status perizinan PT MGK kini berada di bawah kewenangan penuh Pemerintah Aceh.
Kuasa Sudah di Aceh : Izin PT Magellanic Garuda Kencana Terancam Dicabut
Setelah kewenangan pengelolaan izin dikembalikan ke Pemerintah Aceh, otoritas daerah tidak tinggal diam. Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Magellanic Garuda Kencana (MGK) juga terancam dicabut. Ancaman ini muncul setelah hasil evaluasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh Barat menunjukkan bahwa perusahaan belum menjalankan sejumlah kewajiban dalam tahapan kegiatan operasi produksi atau eksploitasi.
Surat peringatan terakhir yang dikeluarkan DPMPTSP, tertuang dalam dokumen bernomor 540/DPMPTSP/290/2023, mendesak PT MGK segera memenuhi semua tahapan operasi produksi sesuai batas waktu yang telah ditentukan. “Jika kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka izin akan dicabut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian isi pernyataan dalam surat tersebut.
Dalam lampiran surat evaluasi, disebutkan ada belasan poin yang belum dipenuhi perusahaan. Mulai dari tidak adanya papan informasi IUP, pos jaga, jalan tambang, gudang atau workshop, drainase, kolam pengendap (settling pond), area penumpukan (stockpile), hingga area pembuangan (disposal area).
Selain itu, perusahaan juga belum menyediakan tangki penimbunan BBC, rambu peringatan, persiapan area galian (pit), hingga kegiatan produksi. PT MGK juga belum memperoleh persetujuan dokumen Rencana Reklamasi (RR) dan Rencana Pascatambang (RPT), serta belum menempatkan jaminan atas kedua dokumen tersebut. Kewajiban lain seperti pengajuan permohonan surveyor untuk penjualan dan kontrak dengan pembeli juga belum dilaksanakan.
Temuan tersebut merupakan hasil inspeksi lapangan tim DPMPTSP pada Januari 2023. Tim kembali melakukan pengecekan pada Juli 2024 untuk memastikan apakah perusahaan telah menindaklanjuti kewajiban tersebut.
Izin Dikembalikan, Kewajiban Terlupakan?
Pada saat izin usaha dikembalikan ke Pemerintah Aceh, PT Magellanic Garuda Kencana ternyata sudah terlanjur dihapus dari sistem aplikasi Minerba One Data Indonesia (MODI), platform resmi yang mencatat status legalitas dan aktivitas perusahaan tambang di Indonesia. Untuk dapat kembali terdaftar dalam sistem tersebut, perusahaan wajib terlebih dahulu menyelesaikan seluruh kewajiban administratif dan teknis sesuai regulasi yang berlaku. Namun hingga kini, PT Magellanic belum tercatat kembali di aplikasi MODI, sehingga patut diduga bahwa perusahaan tersebut belum menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi syarat utama untuk pemulihan statusnya sebagai pemegang IUP yang sah.
Belum terdaftar ulang di MODI, tapi sudah menambang. Secara hukum, PT Megalanic menggali dalam ketidakabsahan.
Jika sebuah perusahaan tambang belum menyelesaikan kewajibannya dan belum masuk kembali ke sistem Minerba One Data Indonesia (MODI), maka aktivitasnya layak disebut penambangan tanpa izin. Ini bukan sekadar masalah administratif. Ini persoalan legalitas yang menentukan apakah sebuah perusahaan boleh menggali tanah negara atau justru sedang merampasnya.
Dalam dunia pertambangan, ini bukan hal sepele. MODI adalah satu-satunya pintu legalitas yang menghubungkan antara izin, pengawasan, dan transparansi. Tak terdaftar di MODI berarti tak diakui oleh negara. Dan siapa pun yang menambang tanpa pengakuan negara, adalah pelaku penambangan ilegal.
Argumen hukumnya jelas. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan bahwa kegiatan pertambangan hanya boleh dilakukan oleh pemegang izin yang sah dan terverifikasi. MODI menjadi alat verifikasi tersebut. Dalam Pasal 158, siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin resmi diancam pidana paling lama lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Dalam urusan tambang, sekop yang menyentuh tanah sebelum legalitas lengkap bisa dianggap sebagai alat kejahatan. Negara tidak memberi toleransi pada tambang abu-abu: hanya ada hitam dan putih.
Mengapa ini penting? Karena tambang bukan industri biasa. Ia menyangkut kedaulatan sumber daya, penerimaan negara, hingga kerusakan lingkungan jangka panjang. Tanpa kepatuhan terhadap sistem MODI, negara kehilangan kendali, dan publik kehilangan kepercayaan.
Tenaga Asing, PT Megalanic menari di ujung pelanggaran ganda.
Di tengah status izin usaha yang masih buram, PT MGK diduga mempekerjakan tenaga kerja asing dalam aktivitas pertambangannya. Jika benar, maka perusahaan ini bukan hanya menggali tanpa legalitas, tetapi juga mengangkut pekerja asing ke wilayah hukum Indonesia tanpa landasan sah. Ini bukan sekadar keteledoran administratif tapi pelanggaran berlapis.
Dalam sistem hukum Indonesia, tenaga kerja asing hanya dapat dipekerjakan oleh badan usaha yang sah secara hukum, memiliki izin usaha aktif, dan terdaftar di instansi terkait. Pasal 42 Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas menyebutkan bahwa pemberi kerja wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disetujui oleh pemerintah. Tanpa izin itu, keberadaan WNA di lokasi tambang dapat dianggap sebagai imigran ilegal dalam aktivitas ilegal.
Masalahnya, PT Megalanic sendiri belum memiliki status aktif di sistem MODI. Artinya, secara hukum, perusahaan ini belum mendapat pengakuan untuk melakukan kegiatan pertambangan, apalagi untuk memperkerjakan WNA. Pertanyaan besarnya, Bagaimana mungkin satu entitas yang belum sah secara administratif sudah mempekerjakan orang asing?
Pelanggaran ini menciptakan mata rantai pelanggaran hukum. Dari izin usaha yang tidak tuntas, aktivitas tambang yang tidak sah, hingga eksploitasi tenaga asing yang rawan tidak terlindungi hukum. Risiko eksploitasi meningkat, pengawasan minim, dan negara kehilangan kendali atas arus masuk tenaga kerja global. Lebih buruk lagi, jika keberadaan WNA itu tidak tercatat di Imigrasi atau tidak memiliki visa kerja yang sesuai, maka kasus ini bisa merembet ke ranah hukum pidana keimigrasian.
Di lapangan, keberadaan pekerja asing kerap menjadi isu sensitif, dalam logika hukum, perusahaan yang belum selesai urusan legalnya tak mungkin berhak mengatur legalitas pihak lain. Mereka belum berhak mengeruk tanah negara, apalagi membawa orang asing ikut serta.
Sunyi di Tengah Suara Mesin
Di tengah deru mesin tambang dan sorotan media tentang aktivitas kapal penggeruk emas yang diduga dioperasikan oleh tenaga kerja asing, aparat penegak hukum di Aceh Barat masih diam. Padahal bukti-bukti awal bukan lagi harus dicari, ia tinggal dibaca.
Sistem MODI milik Kementerian ESDM sudah cukup menjadi alarm awal. Ketika sebuah perusahaan belum tercatat aktif di sistem itu, maka aktivitas pertambangan yang dilakukan otomatis masuk dalam kategori ilegal. Ditambah lagi, pemberitaan media tentang keberadaan kapal pengeruk dan dugaan keterlibatan warga negara asing di wilayah kerja PT MGK semestinya menjadi sinyal keras bagi aparat.
Namun hingga kini, Polres Aceh Barat belum menunjukkan langkah konkret. Tak ada penyelidikan terbuka, tak ada penyegelan lokasi, bahkan belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian. Sementara, aktivitas di lapangan berjalan sebagaimana tambang legal, padahal dokumennya masih gelap.
Ketika hukum dibiarkan mandul di hadapan pelanggaran yang telanjang, maka negara ikut bersalah dalam pembiaran. Kapal tambang yang terus beroperasi, deru mesin yang tak henti menggali, dan jejak emas yang mungkin keluar dari bumi Aceh tanpa pengawasan, semua terjadi di bawah hidung aparat.
Publik bertanya: ke mana Polres Aceh Barat? Mengapa sunyi justru datang dari pihak yang seharusnya bersuara lantang? Jika hukum tunduk pada kekuasaan modal, dan aparat membisu di tengah pelanggaran, maka tambang tak ubahnya ladang perampokan yang dilegalkan oleh pembiaran.
Aceh Barat tak dapat apa-apa. Saatnya Bupati dorong wilayah IUP PT. MGK jadi Wilayah Pertambangan Rakyat
Di sisi lain deru aktivitas tambang PT Megalanic yang terus bergema di pedalaman Aceh Barat, satu fakta mencolok, daerah ini nyaris tak mendapat apa-apa. Tak ada kontribusi yang jelas, tak ada angka pendapatan yang dapat ditelusuri. Yang ada justru jejak eksploitasi yang dibiarkan, sementara pemerintah daerah hanya jadi penonton.
Padahal wilayah konsesi perusahaan ini berada tepat di Aceh Barat, sebuah kabupaten yang masih berjibaku dengan ketimpangan ekonomi dan keterbatasan fiskal. Seharusnya, setiap aktivitas tambang yang terjadi di sana menyumbang bagi kas daerah, membuka lapangan kerja lokal, dan menggerakkan ekonomi sekitar. Tapi hingga kini, tak ada transparansi soal kontribusi PT MGK bagi daerah. Pendapatan hilang, kendali tak ada.
Bupati Aceh Barat seharusnya tak tinggal diam. Apalagi, saat menjabat sebagai anggota DPRA, ia sempat mengapresiasi keputusan pemerintah pusat yang mencabut izin usaha pertambangan perusahaan ini. Sikap itu seharusnya dilanjutkan di level eksekutif daerah dengan langkah strategis, mendorong konversi wilayah bekas konsesi PT MGK menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Langkah ini bukan hanya sah, tapi sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Pasal 33 UUD 1945 pun menegaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. WPR adalah salah satu bentuk nyata mandat itu, mengembalikan kendali tambang ke tangan rakyat, memastikan hasil bumi memberi makan warga lokal, bukan memperkaya korporasi asing yang bersembunyi di balik celah hukum.
Transformasi IUP menjadi WPR akan memberi kejelasan arah. Masyarakat bisa diorganisir untuk menambang secara legal, pendapatan bisa dicatat, dan pemerintah daerah punya ruang mengatur dan mengawasi. Tak ada lagi emas yang keluar tanpa jejak, atau alat berat yang merusak tanpa ganti rugi.
Kini saatnya Bupati Aceh Barat memanfaatkan momentum. Tak cukup berhenti pada pujian atas pencabutan izin. Kepemimpinan diuji bukan saat bersorak, tapi saat mengambil keputusan yang mengubah sistem. Karena jika tambang terus berjalan tanpa kontribusi, maka yang digali bukan hanya tanah, tetapi juga harga diri daerah.
Kajian Wahana Generasi Aceh (Wangsa)
Penulis : Jhony Howord